Gedung DPR. Merdeka.com/Imam Buhori |
Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyambut baik wacana tersebut. Namun dengan catatan, perekrutan anggota TNI menjadi pegawai KPK tidak menabrak Undang-Undang.
"Tidak ada permintaan dari KPK agar anggota saya menjadi penyidik dalam KPK, namun yang saya tahu hanya untuk mengisi jabatan sekjen," katanya usai memberikan pengarahan kepada sejumlah prajurit TNI-Polri di Kupang, NTT, Kamis (7/5) lalu.
Moeldoko menjelaskan, dia sendiri memberikan anggotanya untuk masuk dalam kepengurusan KPK, namun menurutnya jika salah satu prajuritnya masuk, maka status dari anggota itu akan pensiun dan tidak bekerja sebagai TNI aktif lagi.
"Inikan demi kepentingan negara, namun jika negara meminta maka semua prajurit TNI harus siap menjadi bagian dari lembaga itu sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan," tambahnya.
Tidak senada dengan Moeldoko yang menyambut baik hal ini. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan tegas menolak wacana tersebut. Beragam alasan dipaparkan mengapa tak setuju menarik TNI menjadi penegak hukum di KPK.
Berikut alasan-alasan DPR menolak wacana TNI ditarik jadi pegawai KPK, dihimpun merdeka.com, Sabtu (9/5):
1.Khawatir TNI dan Polri di KPK saling tikam
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai keliru wacana penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut berasal dari unsur TNI. Ia beralasan tak ada undang-undang yang mengatur jika TNI terlibat dalam suatu lembaga penegak hukum.
"TNI sesuai UU bukan lembaga penegak hukum dan tupoksinya bukan di bidang penegakan hukum. Jadi keliru besar jika KPK meminta penyidik dari TNI. Juga sama keliru jika TNI menawarkan atau memenuhi permintaan KPK," kata Mahfudz saat dihubungi, Kamis (7/5).
Mahfudz menyatakan jika benar nantinya TNI menjadi penyidik di KPK. Hal ini dapat memicu konflik baru, diketahui penyidik KPK yang ada saat ini berasal dari Polri.
"Harus hati-hati jika KPK punya penyidik dari Polri dan TNI, keduanya bisa diadu dan saling tikam. Bisa rusak negara," simpulnya.
Politikus PKS ini menegaskan akan mempertanyakan wacana tersebut ke Panglima TNI saat rapat kerja mendatang dengan Komisi I DPR.
2.Tugas TNI pertahanan, bukan penegakan hukum
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Asrul Sani menyambut baik usulan Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil penyidik dari unsur TNI. Namun menurutnya wacana tersebut terbentur dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Wacana bantuan penyidik dari oditurat militer TNI kepada KPK merupakan gagasan yang baik dan bisa menjadi salah satu alternatif dalam rangka mengatasi kekurangan penyidik di KPK. Namun dalam konteks Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, wacana tersebut tampaknya sulit diwujudkan, kecuali Undang-undang TNI tersebut dirubah terlebih dahulu," kata Asrul saat dihubungi, Jumat (8/5).
Menurut Asrul, dalam Bab IV Undang-undang TNI disebutkan pokok dan peran fungsi TNI pada pertahanan bukan penegakan hukum. Oleh karena itu, keinginan KPK tersebut nampaknya sulit terwujud.
"Kalau melihat Bab IV Undang-undang TNI yang mengatur tentang peran, fungsi dan tugas TNI, maka semuanya bermuara pada pertahanan negara dan tidak ada penegakan hukum kepada masyarakat, kecuali terhadap internal anggota TNI sendiri," beber dia.
Namun, Wasekjen PPP hasil Muktamar Surabaya ini mengungkapkan, ada cara lain agar keinginan KPK itu terwujud. Cara itu dengan mengubah amandemen Undang-undang TNI itu sendiri.
"Ada alternatif sebetulnya jika tidak mau merubah Undang-undang TNI, yakni dengan cara penyidik TNI yang dikaryakan di KPK tersebut dialih statuskan sebagai pegawai KPK. Tetapi hal ini berarti penyidik tersebut mengundurkan diri dari statusnya sebagai anggota TNI," pungkas dia.
3.Bikin hukum makin kacau
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi menolak keras wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menarik anggota TNI untuk mengisi jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) di lembaga antikorupsi tersebut. Menurut dia, jika anggota TNI menjadi penyidik di KPK bakal merusak tatanan konstitusi.
"Mengambil penyidik dari TNI akan semakin menambah karut marut hukum di Indonesia, bahkan akan berdampak pada persoalan konstitusi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan soal tugas penegakan hukum, konstitusi telah mendelegasikannya kepada Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945," kata Aboe Bakar saat dihubungi di Jakarta, Jumat (8/5).
Menurut Aboe Bakar, wacana KPK merekrut TNI menjadi anggota penyidik tak bisa dilepaskan dari perseteruan yang terjadi dengan kepolisian. Namun wacana tersebut bukan menyelesaikan konflik kedua lembaga penegak hukum tersebut.
"Tentunya wacana ini tidak menjadi solusi untuk persoalan KPK. Malahan kemungkinan legal standing para penyidik itunya akan memiliki persoalan. Karena penyidik di KPK sebagaimana diatur dalam pasal 38 dan 39 Undang-undang KPK, penyidik dimaksud adalah yang sebagaimana diatur dalam KUHP. Sedangkan selama ini, TNI tidak tunduk pada pidana umum. Mereka miliki dunia sendiri, yaitu pidana militer," ujar dia.
Dengan melihat aturan itu, lanjut dia, maka hampir tak mungkin merekrut penyidik KPK dari TNI. Kecuali mengubah amandemen UUD 1945.
"Oleh karenanya, hampir tidak mungkin merekrut penyidik dari TNI, kecuali mengamandemen UUD 1945 dan beberapa UU yang terkait. Tentunya itu adalah langkah yang terlalu jauh," pungkas dia.
4.Anggota TNI harus jadi PNS dulu sebelum masuk KPK
Politikus PDIP TB Hasanuddin tak mau ikut-ikutan menolak atau mendukung anggota TNI jadi pegawai di KPK. Namun menurut dia, tidak ada dalam Undang-Undang (UU) yang memperbolehkan TNI aktif jadi pegawai di KPK.
"Menurut UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI penempatan TNI aktif hanya diperbolehkan pada 10 lembaga seperti Kemenhan, Lemsaneg, Bin, Wantanas, kemenpolhukam dan lain-lain," kata Hasanuddin.
Dia menilai, bisa saja jika anggota TNI ingin menjadi pegawai di KPK. Namun dengan catatan, lanjut dia, harus berhenti dulu sebagai anggota TNI aktif.
"Sementara sebagai penyidik di KPK tidak tercantum (dalam UU), sehingga dapat dikatakan melanggar UU. Bisa saja dipaksakan tapi yang bersangkutan harus alih status jadi PNS dulu," tegas dia.
[SUMBER : Merdeka.com]
Post a Comment