Slamet pelajar tunanetra. ©2015 merdeka.com/kresna |
Peristiwa tersebut terjadi pada 2013 lalu. Saat itu Slamet yang terbiasa berkomunikasi dengan orang tuanya yaitu Suhardi dan Asminah lewat SMS mendadak tidak pernah dihubungi lagi oleh orang tuanya. Saat itu Slamet yang masih tinggal di asrama Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam memutuskan untuk pulang ke Muntilan karena sudah lama tidak mendapat kabar dari orang tuanya.
"Saya biasa komunikasi, lewat SMS atau telpon. Tapi sudah lama kok nggak ada kabar, terus saya pulang ke rumah," ujar anak bungsu dari tiga bersaudara ini.
Begitu dia sampai di rumahnya yang berada di dusun Karangsari, Prumpung, Muntilan dia tidak menjumpai keluarganya di sana. Dia hanya bertemu pemilik rumah kontrakan tempat keluarganya selama ini tinggal. Dari keterangan pemilik kontrakan, keluarganya sudah pindah tanpa memberitahu tetangga atau pun pemilik kontrakan.
"Ternyata di rumah sudah nggak ada orang lagi. Entah ke mana, nggak ada yang tahu. Yang punya kontrakan bilang perginya diam-diam, dia juga tidak tahu," ungkapnya.
Seketika itu juga dia merasa begitu sedih. Meski demikian dia tetap tegar dan berusaha mencari jalan keluar. Dia pun memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta.
"Saya nggak punya siapa-siapa lagi di sana, jadi saya pulang ke Yogya, karena di sini tempat satu-satunya ada orang yang saya kenal, dan perhatian dengan saya," tuturnya.
Beruntung dia masih memiliki sedikit uang yang dia dapat dari beberapa kejuaraan tenis meja khusus tuna netra. Dengan uang tersebut dia pun bertahan dan membiayai hidup sendiri.
"Bayar ke yayasan kan Rp 50 ribu sebulan. Tapi setelah saya masuk SMP, saya ngekos. Pas uang sudah mau habis saya bingung, akhirnya diberi tempat tinggal di sini," pungkasnya.
[hhw]
Post a Comment